Saturday, July 16, 2011

Pingit dan Angkernya Ksatria Sukahet (Panugrahan Wangkes Hyang Bhatari Dhurga)

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur
Semoga tidak terkena aral rintangan

Visualisasi Dhurga - Ida Ratu Ayu di Desa Taman Pohmanis



Ketika braya (panjak pengiring) mempunyai bayi/anak, mereka biasanya meminta agar salah satu Ksatria Sukahet (trah Ida I  Dewa Sumretta) memberikan air ludah  untuk bayi atau anak mereka dioleskan pada jidat dan pusar si bayi (hal ini masih kental berlaku di daerah Pohmanis sampai Kesiman yang biasanya disebut "nunas bebes") jika hal itu tidak dilakukan ketika Ksatria Sukahet bertemu (walaupun hanya berpapasan) dengan sang bayi, dipastikan sang bayi akan menangis sejadi-jadinya, biasanya jika orang yang mengetahui hal tersebut maka menyarankan agar nagkil ke Puri para Ksatria Sukahet untuk "nunas bebes" (minta air ludah/wangkes) dari salah satu keturunan Ksatria Sukahet, jika tidak sang bayi akan terus menangis walaupun sudah ditenangkan dengan cara apapun. Hal itu mengakibatkan banyak para Ksatria Sukahet dikatakan memiliki aji ugig (ilmu hitam) padahal itu tidak benar, itu dikarenakan panugrahan Hyang Bhatari Dhurga yang diberikan kepada Ida I Dewa Sumretta saat beliau nunas panugrahan di Setra Dalem Sukahet, karangasem, begini ceritanya.


Ketika tiga tahun sudah pernikahan Ida I Dewa Sumretta dengan Ni Gusti Ayu Sukahet dijalani dengan suka dan duka, namun nasibnya sangat tidak beruntung dan sangat menyedihkan hati Ida I Dewa Sumretta. Megingat setiap kelahiran putra beliau, selalu meninggal, hal itu terjadi berkali-kali hingga sampai yang ke tiga kalinya, dan diputuskanlah untuk menghadap kepada mertuanya yaitu  Anglurah Sukahet dan meminta saran karena Ki Gusti Sukahet merupakan orang yang pintar dalam hal pengobatan (Usada).

Disarankanlah Ida I Dewa Sumretta dan Ni Gusti Ayu Sukahet nangkil ke Setra Dalem Sukahet untuk meminta panugrahan Hyang Bhatari di ulun Setra (Pemuhunan/tempat membakar mayat) dengan segala upakara yadnya dan tentu saja pada hari/dina yang baik (seperti yang disarakan oleh Anglurah Sukahet) tepat pada tengah malam dengan tulang tengkorak sebagai sarana pembuat minyak, dan nantinya minyak itu dijadikan obat, semua hal itu dilakukan untuk memuja Hyang Bhatari Dhurga.

Setelah semua sudah siap (sarana upakara, dina ayu, dan tekad yang bulat) maka berangkatlah Ida I Dewa Sumretta dengan Ni Gusti Ayu Sukahet ke Setra Dalem Sukahet, ketika sudah tiba di ulun setra bergegaslah beliau berdua mempersiapkan segala sesuatunya dan mengerjakan apa yang disarankan oleh Anglurah Sukahet, segera membuat minyak dari tengkorak manusia dari awal pertama pengerjaan membuat santan dari kelapa dan tengkorak manusia itu dibuatkanlah api yang besar untuk membuat minyak, maka siaplah semuanya. Ida I Dewa Sumretta dan I Gusti Ayu Sukahet duduk dengan memusatkan pikiran lalu beryoga  Angutiti Stiti Sang Hyang Candra Bhaerawi, sampai doa beliau berdua dipusatkan, tidak beberapa lama kemudian muncul dan berwujudlah Hyang Bhaerawi, beliau berdua sangat bergetar dan tidak berani mergerak sedikitpun dan segera menyembah Hyang Bhaerawi, setelah selesai menyembah, terdengarlah sabdha Ida Bhatari dan mengabulkan permintaan dari Ida I Dewa Sumretta beserta istri beliau, dianugrahkan Wangkes Hyang Bhatari dan memberikan wejangan : "Panugrahan ini sangatlah mahotama dan sangatlah berbahaya bagi keturunanmu kelak, apakah bahayanya? Jika kalian bertemu dengan bayi yang belum bisa duduk dan dari pusarnya tiba-tiba mengeluarkan darah, maka segeralah beri pertolongan dengan Wangkes Ku ini, beri dia ludah merah dari daun sirih, maka bayi itu akan sembuh, jika tidak ditolong maka bayi itu akan sakit mencret lalu meninggal, kedua utamanya, berikanlah anak-anakmu dengan boreh Wangkes Ku maka ia akan panjang umur dan digjaya, kemudian bila ada nanti keturunanmu dijadikan Madu maka ia akan berkuasa", demikian sabdha dari Hyang Bhatari kepada Ida I Dewa Sumretta, lalu  Beliau lenyap, mur maring Acintya.

Hari bahagia yang ditunggu-tunggu telah tiba, putra-putra yang nantinya akan menegakkan dan menjadi benteng dari Dinasti Dalem Kresna Kepakisan telah lahir berturut-turut, yaitu: Ida I Dewa Paduhungan yang lahir sekitar tahun (1658 M), kedua Ida I Dewa Negara (1661 M), dan ketiga Ida I Dewa Kereng (1664 M).

Dari semenjak itulah panugrahan itu terus berlanjut hingga warih Ksatria Sukahet sekarang, sehingga pingit dan angker nya panugrahan itu harus dijaga dan dilaksanakan oleh keturunan Ida I Dewa Sumretta dan Ni Gusti Ayu Sukahet agar dapat menegakan Dinasti Dalem, dan berdharma agama dan dharma negara.

Wednesday, July 13, 2011

Ida I Dewa Sumretta (Lahirnya Ksatria Sukahet)

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur
Semoga tidak terkena aral rintangan

Lahirya Ksatria Dalem/Sukahet tidak terlepas dari sang Ayahanda yaitu Ida I Dewa Anom Sagening (Dalem Sagening) yang mempunyai banyak putra dari politik perkawinan beliau agar kedudukan sebagai raja Bali menjadi kuat, hal itu dibuktikan dengan diakui pula Ida Dalem Sagening sebagai raja sesuhunan Bali dan Lombok. Keturunan dari Ida Dalem Segening hanyalah 14 orang sesuai babad Dalem, namun dalam versi babad lain beliau memiliki warih, karena sesuatu sebab mereka tidak diajak bergabung di Kraton Gelgel.
Keturunan beliau adalah: - I Dewa Rangda Gowang
                                      - I Dewa Dimade (Putra Mahkota/Dalem Dimade)
                                      - I Dewa Sumretta (Ksatria Sukahet)
                                      - I Dewa Bedahulu
                                      - I Dewa Anom Sidemen
                                      - I Dewa Karangasem
                                      - I Dewa Pemeregan
                                      - I Dewa Cau
                                      - I Dewa Belayu
                                      - I Dewa Lebah
                                      - I Dewa Sidan
                                      - I Dewa Kabetan
                                      - I Dewa Pesawahan
                                      - I Dewa Kulit (Dewa Kulit Babi)
                                      - Ki Gusti Mambal Sakti (tidak ikut dalam Kraton Gelgel)
                                      - Ki Gusti Panji Sakti (Pendiri Kerajaan Buleleng)

Yang menjadi putra mahkota ialah I Dewa Dimade yang nantinya bergelar Ida Dalem Dimade yang meneruskan pemerintahan Kerajaan Bali dengan pusat di Kraton Gelgel. Ketika pemerintahan Ida Dalem Dimade terjadi pemberotakan yang terkenal dengan nama "Pemberontakan Kriyan Agung Maruti (Pralaya Gelgel, 1651 M). yang mengakibatkan carut marutnya di Kraton Gelgel dan semua isi istana yang masih setia dengan Ida Dalem mengungsi. Hal itu mengakibatkan para Anglurah yang macek masing-masing wilayah dengan para pengiringnya tidak setuju dengan Kriyan Agung Maruti sebagai Raja Gelgel sehingga memilih untuk memerdekakan diri dan menjadi raja di wilayah masing-masing (lahirnya kerajaan kecil di Bali seperti Kerajaan Buleleng, Badung, Karangasem, Bangli, Gianyar, Tabanan, Negara) sedangkan Ida Dalem Dimade mengungsi dan mendirikan Kraton di Guliang (tetap bertahta) dengan ditemani adik beliau Ida I Dewa Sumretta dan Ngakan Denbancingah yang selalu setia merawat Ida I Dewa Jambe yang masih kecil waktu itu. Dari sanalah kakak adik ini merencanakan merebut tahta di Gelgel dan menegakkan dinasti Dalem kembali di Tanah Bali. Setelah Ida Dalem Dimade wafat di Guliang Karangsem, banyak raja-raja vasal yang masih setia dengan Ida Dalem, seperti Raja Denbukit Ida I Gusti Panji Sakti, yang masih warih/garis keturunan dari Ida Dalem, raja Badung yaitu Kyai Jambe Pule yang masih mertua Ida Dalem atau kakek dari Ida I Dewa Jambe, kemudian Anglurah Sidemen yang masih sepupu Ida Dalem dari pihak Ibu, serta Ida I Dewa Sumretta sebagai adik Ida Dalem, telah sepakat untuk mengangkat raja baru pengganti Ida Dalem Dimade, yang terpilih untuk menggantikan ayahanda ialah Ida I Dewa Jambe, sedangkan Ida I Dewa Pemayun memilih untuk berkedudukan di Tampak Siring disertai dengan pembagian pusaka kerajaan dan pengiring setia.

Setelah lama menetap untuk mempersiapkan serangan balasan, diceritakanlah beberapa tahun di Ulah Sidemen, Ida I Dewa Jambe terus mendapatkan pelajaran tentang taktik dan strategi perang, oleh Ki Anglurah Sidemen, sedangkan Ida I Dewa Sumretta yang telah lama meetap di Sidemen, sering bermain untuk mengisi waktu dan menghibur diri dari kegiatan sehari-hari didalam menemani keponakannya. tempat yang sering dikunjingi beliau adalah Desa disebelah selatan Ulah/Sidemen yaitu  Desa Sukahet, yang menjadi penguasa adalah Sira Anglurah Sukahet yang bernama I Gusti Sukahet, dan beliau memiliki seorang putri yang pemberani yaitu I Gusti Ayu Sukahet. Sehingga Ida I Dewa Sumretta jatuh hati dan sangat cinta kepada putri Anglurah Sukahet tersebut. pada waktu itu usia dari Ida I Dewa Sumretta kira-kira 28 tahun (menurut Buku Dharma Agama dan Negara karangan Ida I Dewa Gede Cakranegara). Ida I Dewa Sumretta dan I Gusti Ayu Sukahet pun saling mencintai sehingga hubungan mereka direstui oleh ayahanda Anglurah Sukahet, upacara pernikahan dilangsungkan di Jro Agung Sukahet. Setelah dua bulan pernikahannya. beliau berdua berpamitan untuk pulang ke Sidemen guna melaksanakan kewajiban sebagai Ksatria demi mengembalikan kewibawaan Dinasti leluhur.

Ksatria Dalem Segening, dari Trah Ida I Dewa Sumretta yang kawin dengan I Gusti Ayu Sukahet, untuk mengenang Sang Ibu (I Gusti Ayu Sukahet) maka ditambahkanlah "Sukahet" bagi keturunan Ksatria Dalem trah Ida I Dewa Sumretta yang sampai sekarang bernama Ksatria Dalem/Sukahet.

Ida I Dewa Ngurah Swastha - Penglingsir Agung Puri Agung Denbancingah Klungkung - Ksatria Sukahet

Thursday, June 9, 2011

Pusaka Kerajaan di Puri Agung Pohmanis (Tonggak Sejarah dan Benteng Kerajaan)

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur
Semoga tidak terkena aral rintangan

Mengenai keberadaan dan asal usul Keris Pajenengan dan Keris Pusaka di Pemrajan Agung Pohmanis sungguh sangat "gelap" dan pelik, karena tidak ada prasasti dan sumber-sumberyang dapat dirunut untuk mengungkapkan asal usul Pusaka tersebut.

Mencoba mengungkapkan keberadaan Pusaka tersebut dengan asumsi, logika tidak jauh dari perjalanan sejarah I Dewa Kalesan/I Dewa Karang/I Dewa Gde Sukahet, baik pada waktu beliau dibawa oleh I Pengalu Kuda di Den Bukit, dibesarkan di Puri Bun maupun dinobatkan jumeneng di Puri Taak.
Nampaknya tidak lazim seorang putra pembesar kerajaan yang masih kecil, masih kanak-kanak, dibekali sebuah keris pada waktu beliau diculik oleh Ngakan Kaleran saat di Klungkung, penulis lebih cendrung memandang "Penculikan" tersebut tidak sebagai pencurian, tetapi lebih sebagai penyelamatan terhadap nyawa I Dewa Karang. Sebab Kalau kita perhatikan situasi Klungkung dan Gelgel pada waktu itu sedang bergolak. Istana Gelgel dapat dikuasai pasukan sekutu dibawah pimpinan Ida I Dewa Jambe putra dari Dalem Dimade saat merebut kembali kerajaan yang sudah dirampas oleh I Gusti Agung Maruti (Pemberontakan Maruti).

Ida I Dewa Jambe tidak mau lagi di istana Gelgel dan beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Gelgel ke Klungkung (Semarapura) dan dinobatkan sebagai Raja Klungkung I (Th. 1710 M.) dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. Perlu diketahui pula, semenjak itu Raja Klungkung tidak lagi memakai gelar Dalem.

Kalau kita perhatikan usia putra-putra kerajaan pada waktu itu. I Dewa Agung Jambe adalah seusia dengan I Dewa Paduwungan, putra dari Ida I Dewa Sumretta. adalah masuk akal, I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduwugan waktu itu masih kecil.

Yang lebih mungkin dalam menyingkap asal usul Keris Pajenenga dan Pusaka tersebut adalah setelah Ida I Dewa Gde Sukahet Jumenek di Puri Taak (Raja Taak I). sangat mungkin beliau mohon diberikan sebuah Keris kepada Ida I Dewa Agung di Klungkung. Ini menjadi penting, mengingat pada masa itu ada suatu tradisi, budaya kerajaan bahwa keris dapat memberi tuah, sugesti lebih percaya diri kepada pemiliknya, memberi rasa aman dari gangguan serangan musuh,dll.

Pada tahun 1999 Keris Pajenengan dan Pusaka kerajaan tersebut menunjukan kebesarannya. Puri  Agung Batubulan (Warih Dalem Sukawati) akan melaksanakan Karya Agung namun tidak pernah berhasil karena Penglingsir di Puri Agung Batubulan waktu itu melupakan akan keberadaan Ksatria Dalem Sukahet di Puri  Agung Pohmanis yang pertama kali menguasai Taak. Pada saat para pengayah ngayah di Pemrajan Agung di Puri, terjadi hujan lebat tak kunjung reda hingga Mrajan Puri Agung Batubulan kebanjiran sampai selutut orang dewasa, berbagai orang pintar ditugaskan untuk meredakan hujan tersebut namun hasilnya nihil, samapai pada akhirnya ada seorang orang pintar karena pasrah dan hasilnya nihil terus melapor kepada Tjokorda Batubulan bahwa ada sekelompok mahkluk halus bertubuh hitam-hitam yang berjumlah ribuan mengganggu proses Karya Agung tersebut dan datangnya dari arah Barat (menurut masyarakat Pohmanis Keris Pajenengan dan Pusaka di Mrajan Agung Pohmanis memiliki rencang/pengikut balayudha wong samar/gamang hingga ribuan rencang/pengiring). mengingat kesalahan fatal dari Puri Agung Batubulan tidak mengingat akan keberadaan Ksatria Dalem Sukahet beserta Keris Pajenengan dan Pusaka Kerajaan di Mrajan Agung Pohmanis yang dahulunya pernah berkuasa di Taak maka terancam gagalah Karya yang akan diselenggarakan. segera Tjokorda Batubulan matur ke Puri Agung Pohmanis untuk meminjam dan ngelinggihkan Keris Pajenengan dan Pusaka Kerajaan tersebut (mendak) untuk dibawa/diiringi ke Mrajan Agung Batubulan serta para Ksatria Dalem/Sukahet ngiringang Keris Pajenengan dan Pusaka  Kerajaan  tersebut, atas seijin penglingsir Puri Agung Pohmanis Dr. Ida I Dewa Made Tjandranegara. setelah itu keadaan di Mrajan Agung Batubulan berangsur-angsur mereda dan para wargi pengayah bisa menjalankan tugas masing-masing dan Karya Agung berjalan lancar. Itu merupakan bukti betapa besar dan pingitnya Keris Pajenengan dan Pusaka Kerajaan di Mrajan Agung Pohmanis yang merupakan tonggak Sejarah dan Benteng Kerajaan.


Pusaka Kerajaan, Ratu Pajenengan (kanan) dan Ratu Penampa (kiri) saat Tumpek Landep di Merajan Agung Puri Pohmanis

Wednesday, June 8, 2011

Dinasti Ksatria Sukahet di Puri Agung Pohmanis

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur
Semoga tidak terkena aral rintangan

"Yan pirang kunang lawasnia, hana penagkan kali ring Badung, kalah I Gusti Jambe, molih I Gusti Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di Payangan, I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli. Irika pada keherangan ri semeton I Dewa Rai, raris pada ngungsi: I Dewa Gde Dukuh, sareng ring I Dewa Wayan Badung ngungsi jagat Sanur/Taman Intaran ring Ida Pedanda Gde Alngkajeng. I Dewa Nyoman Badung sareng I Dewa Wayan Muntur kairing antuk semeton istri adiri, I Dewa Ayu Anom Pahang, Ngungsi I Gusti Ngurah Kajanan. I Dewa Batanancak taler sareng ngungsi"
(.............................................................Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis).

Pemedal Agung Pemerajan Agung Puri Agung Pohmanis (Ksatria Sukahet)

Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau Balau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam. intrik adu domba berkembang, fitnah merajalela sehingga para semeton yang masih ada di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan jiwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. Cerita rakyat yang berkembang di Batubulan sampai sekarang, bahwa I Dewa Gde Rai raja di Puri Taak yang terbuuh di Payangan, sebelum beliau meninggal minta agar dibuatkan meru tumpang solas (sebelas). sampai sekarang meru tersebut masih ada di Pura Puseh Desa Batubulan, Gianyar.
I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Griya Taman Intaran/ Ida Pedanda Gde Alangkajeng . I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Waya Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria. Beliau berdua ditempatkan di Kusiman.

I Gusti Ngurah Jambe sangat marah denga prilaku para Ksatria di Batubulan, sehingga jagat Batubulan diserahkan (keaturang ) ke Sukawati. itulah sebabnya jagat Batubulan diperintah oleh Ida I Dewa Manggis (pada waktu itu Ida I Dewa Manggis Jorog, generasi III dari Kerajaan Gianyar).
Tampaknya setelah I Dewa Gde Rai terbunuh di Payangan, tapuk kepemimpinan di Puri Taak diambil alih oleh I Dewa Lukluk. I Dewa Lukluk tidak mempunyai putra laki-laki, dapat minta sentana putra dari I Dewa Manggis Gianyar, namanya I Dewa Gelugu naik tahta di Puri Taak / Batubulan abhiseka I Dewa Oka. Semenjak I Dewa Oka naik Tahta di Puri Taak/Batubulan, maka dinasti I Dewa Manggis macek di Puri Taak menggantikan dinasti I Dewa Sukahet. I Dewa Oka mengambil istri dari Puri Peliatan, dari perkawinan ini lahir I Dewa Gog, I Dewa Gog mengambil istri dari Ksatria Sukahet, selanjutnya bertempat tinggal di Tegal Tamu.

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung waktu itu ditempatkan di Kusiman (Desa Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur). dalam perjalanan itu beliau meiringan panjak/wargi pungakan banjar kalah dan wargi lainnya, sedangkan I Dewa Wayan Muntur meiringan dua orang. sehingga ada sebutan sampai sekarang di Pohmanis yaitu Panjak/Wargi Tatadan (Pengiring Setia).

Dalam pengungsian tersebut I Dewa Nyoman Badung berpesan kepada semeton dan pengiring beliau bahwa karena sudah manunggal suka duka bersama-sama, Seluruh Ksatria Sukahet (I Dewa Nyoman Badung dengan I Dewa Wayan Muntur)tidak boleh ada yang berani/sewenang-wenang dengan para pengiring begitu juga dengan para pengiring, tidak boleh berani dengan beliau berdua sampai semua keturunan dengan disaksikan Sanghyang Geni. 

Ida I Dewa Made Kertha - Penglingsir Puri Sukahet, Dauh Tangluk Kesiman

I Dewa Nyoman Badung meninggal (mantuk) di Kesiman. Beliau mempunyai tiga orang putra-putri. yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak dari I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung waktu itu) I Dewa Gde Pande beserta I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju Desa Pohmanis beserta pengiring, Panjak (kawula, wargi) banyaknya 40 (empat puluh orang) terdiri dari wargi perkumpulan watek Pasek, Kalah, dan Karang.

Dapat diperkirakan, sangat mungkin bahwa I Dewa Gde Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama para wargi, pengiring di Pohmanis mendapat atau di beri tugas berat oleh penguasa Badung waktu itu, yakni: membina, menjaga, keamanan dan mempertahankan wilayah dari
* Desakan atau serangan dari laskar Gianyar dari Timur, karena Batubulan sudah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar
* Desakan dari Utara, perluasan dari Kerajaan Mengwi ke selatan karena wilayah Bun, Sedang, Angantaka, dan Jagapati sudah menjadi wilayah kekuasan Kerajaan Mengwi.
* Kerajaan Badung juga ingin memekarkan wilayahnya, paling tidak untuk tetap menjaga wilayahnya jangan sampai diambil, dirampas oleh dua kerajaan tersebut yang jauh lebih besar dan lebih kuat pada waktu itu.

Setelah beberapa tahun lamanya beliau (I Dewa Gde Pande dan I Dewa Wayan Muntur) menetap di Pohmanis keadaan berangsur-angsur menjadi aman, pergolakan mereda, sehingga para warga dapat hidup aman dan tenang. Mendirikan Purii yang diberi nama Puri Agung Pohmanis,  mendirikan rumah-rumah mereka, mendirikan Pura dan mendapatkan tanah pertanian dan tegalan sebagai sumber penghasilan, sumber penghidupan mereka, sesudah itu untuk memantapkan wilayah Pohmanis dan sekitarnya, baru kemudian Penguasa/Raja Badung mengutus warga Pande, Sengguhu (Bujangga) para Arya dan Brahmana ke daerah ini. mulai saat itulah Dinasti Ksatria Sukahet I Dewa Gde Pande dengan I Dewa Wayan Muntur macek wilayah Pohmanis.

Tuesday, June 7, 2011

Ida I Dewa Gde Sukahet Jumeneng di Puri Taak

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur

Semoga tidak terkena aral rintangan

Pemedal Puri Agung Batubulan dahulu bernama Jro Gede Batubulan

Puri Taak, sangat mungkin sekarang adalah Puri Agung Batubulan? Tonggak sejarah yang bisa ditelusuri adalah dengan adanya sampai sekarang nama-nama seperti Uma/ Carik Taak, Pura Dalem Taak, Setra Taak yang lokasinya di sekitar Puri Agung Batubulan. Sampai sekarang masyarakat Batubulan meyakini cerita yang berkembang di masyarakat Batubulan, bahwa Puri Agung Batubulan adalah bekas tempat tinggal, rumah Sengguhu Taak yang karena policy Penguasa Badung waktu itu I Gusti Ngurah Jambe Pule, I Sengguhu Taak dipindahkan tempat tinggalnya ke sebelah timur Puri, ke tempat yang banyak ditumbuhi alang-alang, maka dusun tersebut disebut Pengambengan (Pegambangan).

Sekarang diceritakan, sesudahnya Ida I Dewa Gde Sukahet (I Dewa Karang/I Dewa Kalesan putra dari I Dewa Paduwungan warih dari Ida I Dewa Sumrreta/Ksatria Sukahet di Puri Denbancingah, Klungkung) Jumenek di Puri Taak, ngambil isri prami bernama I Dewa Ayu Pedungan, putri I Dewa Gde Pemeregan dari Puri Kalah, Batubulan.Dari perkawinan ini lahir I Dewa Gde Pameregan dan dari istri penawing lahir I Dewa wayan Panenjoan, Puri di Kapal, Batubulan. dari istri Ni Gusti Ayu Pinatih lahir I Dewa Wayan Tanjung dan I Dewa Made Tanjung. Dari istri penawing yang lain lahir I Dewa Wayan Badung, I Dewa Ketut Kuta, Puri Tegehe, I Dewa Gde Batanancak, Puri Kalah Batubulan(Ibu Prasanghyang).

Dari sekian putra-putra beliau yang dinobatkan di Puri Taak adalah I Dewa Gde Pemeregan, mempunyai 9 orang putra dan 7 orang putri yaitu: I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegel, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai, ibu prami dari Klungkung saudara dari I Dewa Ketut Karang. Dan untuk putri perempuan yaitu: I Dewa Ayu Pemeregan, kawain dengan Brahmana Guwang/Sukawati, I Dewa Ayu Pinatih keambil oleh Ida Pedanda Alang Kajeng dari Griya Taman Intaran Sanur, I Dewa Ayu Jambe, I Dewa Ayu Tubuh, I Dewa Ayu Raka, I Dewa Ayu Puseh, I Dewa Ayu Made Tubuh.

Yang akan dinobatkan di Puri Taak untuk menggantikan ayahandanya adalah, I Dewa Gde Rai karena ibu prami dari Puri Klungkung. Tampaknya pada waktu itu, Taak/ Batubulan dibawah pemerintahan I Dewa Gde Pameregan masih masuk wilayah Badung. Pada masa Pemerintahan I Dewa Gde Pameregan di Batubulan wilayah ini terus menjadi rebutan antara kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Badung, ini terbukti nanti di Puri Taak terjadi prahara pada waktu pergantian kepemimpinan dari I Dewa Gde Pameregan kepada putranya I Dewa Gde Rai. Prahara tersebut merupakan persekongkolan antara saudara Raja I Dewa Made Lukluk dengan penguasa Gianyar yaitu I Dewa Agung Manggis yang mengakibatkan Raja I Dewa Gde Rai terbunuh di Payangan dan saudara Raja I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. karena merasa tidak aman jiwa dan memutuskan untuk mengungsi ke daerah  Kesiman, setelah itu membuat Puri di Pohmanis, sebagai penguasa benteng wilayah Badung sampai sekarang.

Di Tegehe (Desa Tegehe,Batubulan) antara I Gusti Ngurah Kajanan dengan I Dewa Gde Pemeregan mengadakan pasubayan, ikrar bersama yang isinya, bahwa: "Inggih I Dewa Gde Pameregan antuk swecan I Dewa, sekantun titiang madeg Agung ring jagat Badung, I Dewa Kantun ring jagat Badung, ala ayu ngiring sareng mangda tumus ngantos ke putra kayang kawekas", ikrar bersama ini dilakukan mengingat bahwa I Dewa Gde Pemeregan sudah menyelamatkan jiwa dari penguasa Badung yaitu I Gusti Ngurah Kajanan pada waktu peristiwa di Tukad Ceng-ceng, Sukawati.

Masa-masa pengungsian dan pembuatan Puri di Pohmanis serta tonggak sejarah berupa Pusaka Agung Kris Pajenengan akan dibahas pada posting selanjutnya
Sumber: Babad Ksatria Sukahet berdasarkan atas Prasasti ring Pemrajan Agung Pohmanis