Saturday, July 16, 2011

Pingit dan Angkernya Ksatria Sukahet (Panugrahan Wangkes Hyang Bhatari Dhurga)

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur
Semoga tidak terkena aral rintangan

Visualisasi Dhurga - Ida Ratu Ayu di Desa Taman Pohmanis



Ketika braya (panjak pengiring) mempunyai bayi/anak, mereka biasanya meminta agar salah satu Ksatria Sukahet (trah Ida I  Dewa Sumretta) memberikan air ludah  untuk bayi atau anak mereka dioleskan pada jidat dan pusar si bayi (hal ini masih kental berlaku di daerah Pohmanis sampai Kesiman yang biasanya disebut "nunas bebes") jika hal itu tidak dilakukan ketika Ksatria Sukahet bertemu (walaupun hanya berpapasan) dengan sang bayi, dipastikan sang bayi akan menangis sejadi-jadinya, biasanya jika orang yang mengetahui hal tersebut maka menyarankan agar nagkil ke Puri para Ksatria Sukahet untuk "nunas bebes" (minta air ludah/wangkes) dari salah satu keturunan Ksatria Sukahet, jika tidak sang bayi akan terus menangis walaupun sudah ditenangkan dengan cara apapun. Hal itu mengakibatkan banyak para Ksatria Sukahet dikatakan memiliki aji ugig (ilmu hitam) padahal itu tidak benar, itu dikarenakan panugrahan Hyang Bhatari Dhurga yang diberikan kepada Ida I Dewa Sumretta saat beliau nunas panugrahan di Setra Dalem Sukahet, karangasem, begini ceritanya.


Ketika tiga tahun sudah pernikahan Ida I Dewa Sumretta dengan Ni Gusti Ayu Sukahet dijalani dengan suka dan duka, namun nasibnya sangat tidak beruntung dan sangat menyedihkan hati Ida I Dewa Sumretta. Megingat setiap kelahiran putra beliau, selalu meninggal, hal itu terjadi berkali-kali hingga sampai yang ke tiga kalinya, dan diputuskanlah untuk menghadap kepada mertuanya yaitu  Anglurah Sukahet dan meminta saran karena Ki Gusti Sukahet merupakan orang yang pintar dalam hal pengobatan (Usada).

Disarankanlah Ida I Dewa Sumretta dan Ni Gusti Ayu Sukahet nangkil ke Setra Dalem Sukahet untuk meminta panugrahan Hyang Bhatari di ulun Setra (Pemuhunan/tempat membakar mayat) dengan segala upakara yadnya dan tentu saja pada hari/dina yang baik (seperti yang disarakan oleh Anglurah Sukahet) tepat pada tengah malam dengan tulang tengkorak sebagai sarana pembuat minyak, dan nantinya minyak itu dijadikan obat, semua hal itu dilakukan untuk memuja Hyang Bhatari Dhurga.

Setelah semua sudah siap (sarana upakara, dina ayu, dan tekad yang bulat) maka berangkatlah Ida I Dewa Sumretta dengan Ni Gusti Ayu Sukahet ke Setra Dalem Sukahet, ketika sudah tiba di ulun setra bergegaslah beliau berdua mempersiapkan segala sesuatunya dan mengerjakan apa yang disarankan oleh Anglurah Sukahet, segera membuat minyak dari tengkorak manusia dari awal pertama pengerjaan membuat santan dari kelapa dan tengkorak manusia itu dibuatkanlah api yang besar untuk membuat minyak, maka siaplah semuanya. Ida I Dewa Sumretta dan I Gusti Ayu Sukahet duduk dengan memusatkan pikiran lalu beryoga  Angutiti Stiti Sang Hyang Candra Bhaerawi, sampai doa beliau berdua dipusatkan, tidak beberapa lama kemudian muncul dan berwujudlah Hyang Bhaerawi, beliau berdua sangat bergetar dan tidak berani mergerak sedikitpun dan segera menyembah Hyang Bhaerawi, setelah selesai menyembah, terdengarlah sabdha Ida Bhatari dan mengabulkan permintaan dari Ida I Dewa Sumretta beserta istri beliau, dianugrahkan Wangkes Hyang Bhatari dan memberikan wejangan : "Panugrahan ini sangatlah mahotama dan sangatlah berbahaya bagi keturunanmu kelak, apakah bahayanya? Jika kalian bertemu dengan bayi yang belum bisa duduk dan dari pusarnya tiba-tiba mengeluarkan darah, maka segeralah beri pertolongan dengan Wangkes Ku ini, beri dia ludah merah dari daun sirih, maka bayi itu akan sembuh, jika tidak ditolong maka bayi itu akan sakit mencret lalu meninggal, kedua utamanya, berikanlah anak-anakmu dengan boreh Wangkes Ku maka ia akan panjang umur dan digjaya, kemudian bila ada nanti keturunanmu dijadikan Madu maka ia akan berkuasa", demikian sabdha dari Hyang Bhatari kepada Ida I Dewa Sumretta, lalu  Beliau lenyap, mur maring Acintya.

Hari bahagia yang ditunggu-tunggu telah tiba, putra-putra yang nantinya akan menegakkan dan menjadi benteng dari Dinasti Dalem Kresna Kepakisan telah lahir berturut-turut, yaitu: Ida I Dewa Paduhungan yang lahir sekitar tahun (1658 M), kedua Ida I Dewa Negara (1661 M), dan ketiga Ida I Dewa Kereng (1664 M).

Dari semenjak itulah panugrahan itu terus berlanjut hingga warih Ksatria Sukahet sekarang, sehingga pingit dan angker nya panugrahan itu harus dijaga dan dilaksanakan oleh keturunan Ida I Dewa Sumretta dan Ni Gusti Ayu Sukahet agar dapat menegakan Dinasti Dalem, dan berdharma agama dan dharma negara.

Wednesday, July 13, 2011

Ida I Dewa Sumretta (Lahirnya Ksatria Sukahet)

Om Awighnam astu namo sidhham.
Om Sidhirastu tad astu swaha
Sujud sembahku kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kepada Leluhur
Semoga tidak terkena aral rintangan

Lahirya Ksatria Dalem/Sukahet tidak terlepas dari sang Ayahanda yaitu Ida I Dewa Anom Sagening (Dalem Sagening) yang mempunyai banyak putra dari politik perkawinan beliau agar kedudukan sebagai raja Bali menjadi kuat, hal itu dibuktikan dengan diakui pula Ida Dalem Sagening sebagai raja sesuhunan Bali dan Lombok. Keturunan dari Ida Dalem Segening hanyalah 14 orang sesuai babad Dalem, namun dalam versi babad lain beliau memiliki warih, karena sesuatu sebab mereka tidak diajak bergabung di Kraton Gelgel.
Keturunan beliau adalah: - I Dewa Rangda Gowang
                                      - I Dewa Dimade (Putra Mahkota/Dalem Dimade)
                                      - I Dewa Sumretta (Ksatria Sukahet)
                                      - I Dewa Bedahulu
                                      - I Dewa Anom Sidemen
                                      - I Dewa Karangasem
                                      - I Dewa Pemeregan
                                      - I Dewa Cau
                                      - I Dewa Belayu
                                      - I Dewa Lebah
                                      - I Dewa Sidan
                                      - I Dewa Kabetan
                                      - I Dewa Pesawahan
                                      - I Dewa Kulit (Dewa Kulit Babi)
                                      - Ki Gusti Mambal Sakti (tidak ikut dalam Kraton Gelgel)
                                      - Ki Gusti Panji Sakti (Pendiri Kerajaan Buleleng)

Yang menjadi putra mahkota ialah I Dewa Dimade yang nantinya bergelar Ida Dalem Dimade yang meneruskan pemerintahan Kerajaan Bali dengan pusat di Kraton Gelgel. Ketika pemerintahan Ida Dalem Dimade terjadi pemberotakan yang terkenal dengan nama "Pemberontakan Kriyan Agung Maruti (Pralaya Gelgel, 1651 M). yang mengakibatkan carut marutnya di Kraton Gelgel dan semua isi istana yang masih setia dengan Ida Dalem mengungsi. Hal itu mengakibatkan para Anglurah yang macek masing-masing wilayah dengan para pengiringnya tidak setuju dengan Kriyan Agung Maruti sebagai Raja Gelgel sehingga memilih untuk memerdekakan diri dan menjadi raja di wilayah masing-masing (lahirnya kerajaan kecil di Bali seperti Kerajaan Buleleng, Badung, Karangasem, Bangli, Gianyar, Tabanan, Negara) sedangkan Ida Dalem Dimade mengungsi dan mendirikan Kraton di Guliang (tetap bertahta) dengan ditemani adik beliau Ida I Dewa Sumretta dan Ngakan Denbancingah yang selalu setia merawat Ida I Dewa Jambe yang masih kecil waktu itu. Dari sanalah kakak adik ini merencanakan merebut tahta di Gelgel dan menegakkan dinasti Dalem kembali di Tanah Bali. Setelah Ida Dalem Dimade wafat di Guliang Karangsem, banyak raja-raja vasal yang masih setia dengan Ida Dalem, seperti Raja Denbukit Ida I Gusti Panji Sakti, yang masih warih/garis keturunan dari Ida Dalem, raja Badung yaitu Kyai Jambe Pule yang masih mertua Ida Dalem atau kakek dari Ida I Dewa Jambe, kemudian Anglurah Sidemen yang masih sepupu Ida Dalem dari pihak Ibu, serta Ida I Dewa Sumretta sebagai adik Ida Dalem, telah sepakat untuk mengangkat raja baru pengganti Ida Dalem Dimade, yang terpilih untuk menggantikan ayahanda ialah Ida I Dewa Jambe, sedangkan Ida I Dewa Pemayun memilih untuk berkedudukan di Tampak Siring disertai dengan pembagian pusaka kerajaan dan pengiring setia.

Setelah lama menetap untuk mempersiapkan serangan balasan, diceritakanlah beberapa tahun di Ulah Sidemen, Ida I Dewa Jambe terus mendapatkan pelajaran tentang taktik dan strategi perang, oleh Ki Anglurah Sidemen, sedangkan Ida I Dewa Sumretta yang telah lama meetap di Sidemen, sering bermain untuk mengisi waktu dan menghibur diri dari kegiatan sehari-hari didalam menemani keponakannya. tempat yang sering dikunjingi beliau adalah Desa disebelah selatan Ulah/Sidemen yaitu  Desa Sukahet, yang menjadi penguasa adalah Sira Anglurah Sukahet yang bernama I Gusti Sukahet, dan beliau memiliki seorang putri yang pemberani yaitu I Gusti Ayu Sukahet. Sehingga Ida I Dewa Sumretta jatuh hati dan sangat cinta kepada putri Anglurah Sukahet tersebut. pada waktu itu usia dari Ida I Dewa Sumretta kira-kira 28 tahun (menurut Buku Dharma Agama dan Negara karangan Ida I Dewa Gede Cakranegara). Ida I Dewa Sumretta dan I Gusti Ayu Sukahet pun saling mencintai sehingga hubungan mereka direstui oleh ayahanda Anglurah Sukahet, upacara pernikahan dilangsungkan di Jro Agung Sukahet. Setelah dua bulan pernikahannya. beliau berdua berpamitan untuk pulang ke Sidemen guna melaksanakan kewajiban sebagai Ksatria demi mengembalikan kewibawaan Dinasti leluhur.

Ksatria Dalem Segening, dari Trah Ida I Dewa Sumretta yang kawin dengan I Gusti Ayu Sukahet, untuk mengenang Sang Ibu (I Gusti Ayu Sukahet) maka ditambahkanlah "Sukahet" bagi keturunan Ksatria Dalem trah Ida I Dewa Sumretta yang sampai sekarang bernama Ksatria Dalem/Sukahet.

Ida I Dewa Ngurah Swastha - Penglingsir Agung Puri Agung Denbancingah Klungkung - Ksatria Sukahet